Baso setia

Lalu Mengapa Tidak Menulis? Iim Kamilah Belajar menulis Suatu pagi saya sedang menjalankan tugas piket. Tugas yang kadang t...

Selengkapnya
Navigasi Web

Biografi


Lalu Mengapa Tidak Menulis?

Iim Kamilah

Belajar menulis

Suatu pagi saya sedang menjalankan tugas piket. Tugas yang kadang terasa sulit kulaksanakan tapi kadang terasa sangat nikmat dan menyenangkan.

Seorang teman saya yang cantik dan cerdas serta baik hati datang menghampiri. Kemudian Beliau membuka pembicaraan. Intinya tentang komentar segelintir teman yang merespon ketika buku yang ditulis seorang temannya sudah terbit. Segelintir teman tersebut mulai membuka-buka isi bukunya.

Sebagai orang berpendidikan dan berbudaya tentu sudah menjadi tradisi intelektual bila teman-teman langsung memberikan ucapan apresiasi dan motivasi. Namun segelintir orang ini agak berbeda responnya. Beberapa ada yang berkomentar, " Ah kalau menulis buku yang kayak begini mah, saya/semua juga bisa. Buku gini mah biasa-biasa saja." Coba tebak, ini jenis komentar yang menunjukkan pribadi apa? Kejujurankah? Ekspresi rasa irikah? Meremehkankah? Apakah ini alami dan normal?

Hehehe, entahlah. Bagi penulis sendiri feedback seperti itu bukan masalah. Bukankah karakter teman itu berbeda-beda?

Justru seorang penulis pasti akan bahagia bila setelah membaca bukunya kemudian semua orang merasa yakin bisa membuat buku seperti itu. Berarti penulis telah berhasil memberi motivasi bahwa menulis itu mudah. Membuat buku itu gampang. Maka dengan adanya buku sang penulis tersebut akan lahirlah para penulis yang kreatif dan produktif.

Ada yang punya jiwa besar sehingga bisa memberi semangat lebih besar untuk mendukung penulisan, ada yang acuh tak acuh tidak terpengaruh, ada juga yang spontanitas mengeluarkan kadar kualitas dirinya.

Namun, komentar segelintir orang di atas kemudian menjadi berbalik bagai bumerang pada dirinya ketika salah seorang teman lainnya menanggapi komentar orang tersebut. Katanya," Kalau anda berkata bisa, lalu kenapa anda tidak membuat tulisan hingga bukunya bisa terbit seperti ini." Nah loh. Entah bagaimana reaksi segelintir teman tadi. Mungkin untuk defensif atas rasa malunya karena telah rendah dalam bersikap, bisa jadi mereka segera bela diri. Berbagai alasan dikemukakan, tidak punya waktulah, tidak sempetlah, hal begitu bagi saya mah terlalu tak penting, dll. Intinya mereka belum mampu menerbitkan buku.

Memang memprihatinkan respon umumnya masyarakat negara kita saat ini terhadap buku. Kalau untuk shopping, jajan, jalan-jalan, pulsa, ratusan ribu tidak terasa mahal dan tidak terasa berat di hati. Namun hanya untuk mengapresiasi buku saja masih banyak yang keberatan meskipun hanya mengucapkan kalimat ikhlas tapi gratis. Apalagi bila berkeinginan membeli buku temannya. Pasti terasa belum mampu dan takut terkuras dompetnya.

Melihat bakso atau rujak lewat langsung ngiler. Perut terasa lapar. Tanpa sengaja beli lagi dan beli terus. Bandingkan dengan saat melihat buku. Adakah rasa lapar haus bacaan mampu menguasai hati? Apakah dompet sudah langsung tak kuat ingin dirogoh? Kebanyakan, keinginannya memiliki buku langsut ciut ketika teringat anggaran bulan tersebut. Melihat buku, insting kesehatan keuangan masih bisa diajak kompromi. Hehehe, padahal buku adalah makanan otak, bukan? Siapa diri kita tergantung apa yang kita baca. Buku mencuci mindset manusia. Seberapa jauh kualitas kita adalah seberapa banyak bacaan yang kita amalkan atau impelementasikan.

Fenomena di atas sepertinya wajar karena saat ini masyarakat Indonesia masih dikatakan sebagai kelompok negara dengan ranking minat baca terendah kedua diantara 62 negara yang disurvey PISA. Kecintaan masyarakat Indonesia pada buku masih nol besar. Mungkin karena dulu kita terlalu lama disusun oleh penjajah. Selama 350 tahun telah ditanamkan budaya cuek buku supaya tidak merdeka dan tetap bodoh. Penjajah takut pada para pembaca buku dan penulis. Mereka melihat bukti, baru saja beberapa orang Indonesia sadar membaca atau menulis buku seperti Kartini atau Multatuli, Indonesia langsung bangkit menyeluruh. Akhirnya Penjajah tak segan-segan memenjarakan para pembangkit yang akan mampu mencerdaskan bangsa melalui baca dan tulis. Mereka tidak ingin, ide-ide kecerdasan terbaca oleh masyarakat luas bahkan terwariskan pada pola pikir generasi penerusnya. Kini kita telah merdeka, bebas membaca dan menulis asal tidak menyangkut SARA dan menggunakan etika. Namun bangsa kita sudah terlanjur berhasil dibentuk dalam kebodohan hingga sulit cinta baca dan nulis buku. Tanpa dituliskan, sepintar apapun orang, ide brilliantnya menguap hanya sebatas dirinya saja. Mereka kurang menyadari kebermanfaatan potensinya untuk umat bila dituliskan.

Selain itu, di negara kita ini, keprihatinan lain adalah masalah harga buku. Relatif murah tidak sebanding dengan khasiat/efek yang terkandung di dalam bacaannya. Tapi jangankan buku berharga mahal, harga relatif murah saja masyarakat belum mampu tergerak membeli karena merasa tidak butuh dan takut anggaran bulanannya tergerus berat. Mereka berprinsip, tidak baca buku tidak akan mati. Padahal, sesungguhnya tuna buku adalah tuna ilmu. Tuna baca atau tuna tulis bisa mandul.

Bisa jadi pula daya apresiasi masyarakat Indonesia pada buku masih rendah karena sebab lain. Diantaranya karena mereka mungkin belum tahu. Betapa besarnya penulis mencintai masyarakat pengguna hingga tidak segan menulis dalam waktu berbulan-bulan hanya untuk satu buku. Demikian juga dalam hal kocek, penulis tidak segan-segan mengeluarkan uang jutaan untuk menerbitkan buku untuk biaya naik cetak mulai dari design cover, setting lay out, dll. Belum lagi antri lama untuk menunggu editor, ISBN supaya buku itu berkualitas. Selanjutnya harus sabar menunggu giliran di percetakan hingga pengiriman padanya. Perjalanan buku demikian panjang. Sebuah perjuangan yang besar. Namun karena kecintaan mempersembahkan karya dan sadar akan manfaat buat masyarakat, penulis rela berkorban banyak hal dengan ikhlas dan bahagia.

Masih pantaskah respon segelintir orang tadi terhadap kehadiran buku apalagi karya teman dekatnya sendiri?

Lalu mengapa kita tidak menulis?

Menulis itu amal jariyah.

Yuk kita mulai cinta menulis tanpa peduli entah siapa dan dimana orang yang akan mendapat perubahan dan pencerahan karena tulisan kita. Biarlah hal itu Tuhan yang atur. Sesungguhnya semua berbakat menulis bila sudah muncul keinginan kuat untuk berbagi sesuatu untuk kebaikan.

Bekasi, 14 Oktober 2018

search

New Post